Hak Waris Dari Ahli Waris Yang Kafir (Non Muslim)

Standar

I.          Pendahuluan

Al Quran dan as Sunnah ini mengandung disiplin ilmu yang luar biasa luasnya. Mulai dari disiplin ilmu aqidah, bahasa, fiqih, adab, siroh, kesehatan, sains dan masih banyak lagi. Ini merupakan nikmat yang nyata bagi umat Islam. Apalagi dengan keberadaan al Quran saat ini yang Allah menjaminnya tetap terjaga dari hal-hal bathil maupun perubahan teksnya. Ini merupakan mukjizat yang luar biasa.

Ada salah satu disiplin ilmu yang hampir-hampir terlupakan, yaitu ilmu faraidh tentang waris. Padahal, ilmu faraidh ini merupakan ilmu yang harus diterapkan juga sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. Ia terkait dengan harta yang ditinggalkan oleh mayyit.

Dalam esai ini penulis tidak berpanjang lebar tentang ilmu faraidh. Penulis akan membatasi dengan bahasan hukum pewarisan dengan perbedaan agama beserta perbedaan pendapat ulama tentangnya dan hikmah hukum tersebut. Juga penjelasan seputar wajibnya seorang muslim terkait dengan aturan waris, serta dampak buruk jika meninggalkannya.

II.        Pembahasan

Ada tiga penghalang pada warisan, jika ditemukan atau ada sesuatu darinya, maka warisan itu ditolak, sekalipun ditemukan alasannya, karena sesuatu itu tidaklah sempurna tanpa terpenuhinya syarat-syaratnya dan tidak adanya penghalangan-penghalangannya. Tiga penghalang untuk warisan adalah membunuh, perbudakan dan perbedaan agama. (Al Bassam, 2004, h. 410)

A). Hukum pewarisan berbeda agama.

Berbeda agama maksudnya adalah bila pewaris memeluk agama yang berbeda dengan ahli warisnya. Apabila seorang muslim mewarisi dari orang kafir atau seorang kafir mewarisi dari seorang muslim, maka hal ini telah dirincikan oleh Syaikh Sholih al Fauzan terkait hukumnya. Beliau berkata bahwa ada empat pendapat berbeda tentang masalah ini. (Al Fauzan, 2002, h. 312-313 )

a). Pendapat pertama, bahwa sama sekali tidak ada saling mewarisi antara seorang muslim dan seorang kafir. Ini merupakan pendapat kebanyakan ulama, berdasar hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam;

لا يرث المسلمُ الكافرَ ولا يرث الكافرُ المسلمَ

“Seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi harta seorang muslim”. (Muttafaq ‘alaih)

b). Pendapat kedua, seorang muslim tidak dapat mewarisi dari orang kafir kecuali dengan adanya wala’. Berdasarkan hadits;

لا يرث المسلمُ النصرانيَّ إلا أن يكون عبدَه أو أمَتَه

“Seorang muslim tidak dapat mewarisi harta oseorang nashrani, kecuali orang nashrani itu merupakan budak laki-laki atau perempuan miliknya.” (H.R Daruqutni)

Hadits ini menunjukkan bahwa ahli waris muslim mewarisi dari budak nashrani, dan juga sebaliknya orang nashrani bisa mewarisi dari budaknya yang muslim.

c). Pendapat ketiga, bahwasannya seorang kafir dapat mewarisi harta dari kerabat muslimnya jika seorang kafir itu masuk Islam sebelum pembagian harta warisan. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu, yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, yang artinya;

كلُّ قَسْمٍ، قُسِمَ في الجاهليَّةِ فَهوَ على ما قُسِمَ لَهُ، وَكُلُّ قَسْمٍ أدرَكَهُ الإسلامُ فَهوَ على قَسْمِ الإسلامِ

“Setiap pembagian warisan yang diberlakukan pada masa  Jahiliyah adalah sesuai dengan apa yang berlaku, dan setiap pembagian warisan yang disepakati setelah datangnya keIslaman, maka sesuai dengan pembagian dalam aturan Islam.”

d). Pendapat keempat, seorang muslim boleh memiliki harta peninggalan seorang kafir, tapi tidak sebaliknya. Berdasarkan hadits dari Mu’adz;

الإسلام يزيد ولا ينقص

“Islam adalah penjumlahan, bukan pengurangan”. (HR. Al Baihaqi)

Mewarisi harta dari orang kafir adalah penambahan dan tidak mewarisinya adalah pengurangan.

Pendapat yang paling kuat (rajih) menurut Syaikh Sholih Al Fauzan adalah pendapat yang pertama. Artinya, sama sekali tidak ada saling mewarisi antara muslim dan kafir, berdasarkan keshahihan hadits dan kejelasan maknanya. Berbeda dengan pendapat lain, bisa jadi karena lemahnya dalil ataupun ketidakjelasannya, maka tidak dapat membantah argumen pendapat pertama.

Dalam situs Islam Web (2002) disebutkan bahwa perselisihan pendapat akan hal ini merupakan perselisihan yang kuat dan sudah lama ada. Larangan seorang muslim mewarisi dari orang kafir adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk empat imam dan pengikutnya. Kelompok ulama lain berpendapat bahwa seorang muslim mewarisi dari pewarisnya yang bukan kafir harbi, dan ini adalah perkataan Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Muhammad bin Al-Hanafiyyah, Muhammad bin Ali bin Al-Hussein, Sa’id bin Al-Musayyib, dan Masruq bin Al-Ajda’, dan itu adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka berkata: “Kami mewarisi dari orang-orang kafir, tetapi mereka tidak mewarisi dari kami, sama seperti kami menikahi wanita dari golongan mereka, akan tetapi mereka tidak menikahi wanita kami”.

 

Asy Syaukani dalam Nailul Authar merincikan pendapat mengenai harta yang ditinggalkan oleh seorang yang murtad (ke luar dari Islam), di antaranya, pendapat al Hadi, Abu Yusuf dan Muhammad bahwa orang-orang muslim mewarisi harta orang yang murtad. Pendapat asy Syafi’i sebaliknya, mereka tidak dapat mewarisi harta orang yang murtad, akan tetapi harta itu untuk baitul mal. Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa apa yang dihasilkan sebelum murtadnya seseorang, maka untuk ahli warisnya yang muslim, dan apa yang dihasilkan setelah kemurtadannya, maka untuk diberikan ke baitul mal. (2005, h. 457)

 

Dalam Syarh Umdatul Ahkam hadits yang ke 294, Syaikh al Bassam mengutip sebuah kisah, bahwa Abu Thalib meninggal dalam keadaan musyrik dan meninggalkan empat orang anak, yaitu Thalib, Aqil, Ja’far dan Ali. Adapun Ja’far dan Ali telah masuk Islam sebelum Abu Thalib wafat, maka mereka berdua tidak mendapatkan harta warisannya. Sedangkan Thalib dan Aqil tetap menganut agama nenek moyangnya, mereka berdua mewarisi harta Abu Thalib. (2004, 413)

 

B). Wajibnya seorang muslim terkait dengan aturan waris.

 

Seorang muslim hendaknya patuh terhadap hukum waris yang telah Allah dan RasulNya tetapkan. Karena dalil-dalil yang terdapat di dalam al Quran maupun Hadits, kesemuanya menunjukkan perintah.

 

Ada tiga ayat di dalam al Quran terkait hukum waris, yaitu pada surat an Nisa ayat 11, 12 dan 176. Pada ayat 11 Allah membuka ayat itu dengan firman (يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ) “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.”, dan Allah menutup ayat tersebut dengan firmanNya;

 آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

 

Surat an Nisa ayat 12 diakhiri dengan firman Allah (  وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ), “(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”. Dan juga akhir ayat tentang waris di surat an Nisa ayat 176 (  يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ), “Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

 

Ibnu Katsir menafsirkan penutup ayat 176, firman Allah: (يبين الله لكم) artinya; Dia mewajibkan ketetapan-ketetapanNya kepadamu, menetapkan batasan-batasanNya untukmu, dan menjelaskan kepadamu hukum-hukumNya. Dan dia berfirman: (أن تضلوا) artinya; jangan sampai kamu tersesat dari kebenaran setelah datang penjelasan. (والله بكل شيء عليم) artinya; Dia Maha Mengetahui akibat-akibat suatu perkara dan manfaatnya, dan apa yang ada di dalamnya berupa kebaikan bagi hamba-hambaNya, dan apa yang pantas didapatkan masing-masing kerabat menurut kedekatannya dengan orang yang wafat itu. (1998, h. 790)

 

Begitu juga perintah yang terdapat dalam sebuah hadits, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

              أَلْحِقُوا الفَرائِضَ بأَهْلِها، فَمَا أَبْقَتِ الفَرائِضُ فَلِأَوْلى رَجُلٍ ذَكَرٍ

“Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat dengan mayit.” (HR. Bukhari, no. 6746 dan Muslim, no. 1615)

C). Dampak buruk jika meninggalkan ketetapan hukum waris.

Hukum Allah bersifat sempurna. Dan hukum waris itu merupakan ilmu yang syarat akan hikmah. Setelah ayat 11 dan 12 dari surat an Nisa terkait hukum waris, Allah berfirman pada ayat 13 dan 14 terkait pahala untuk orang-orang yang patuh pada ketentuan-ketentuan Allah, dan ancaman berupa adzab yang menghinakan untuk orang-orang yang menyelisihinya.

 

Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Fathul Qadir berkata menjelaskan tafsir ayat tersebut, bahwa isyarat dalam firman Allah Ta’ala, (تِلْكَ) merujuk kepada hukum-hukum di ayat sebelumnya (yaitu, yang berkaitan dengan hukum waris). Dan Allah Ta’ala menyebutnya sebagai “batasan”, karena tidak boleh dilampaui atau tidak boleh dilewati. (Hakim, 2019)

وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan”. (QS. An Nisa: 14)

D). Hukum Pewarisan di Antara Orang Kafir

Terkait hukum pewarisan di antara orang kafir terdapat dua hal: (Al Fauzan, 2002, h. 313-315)

  • Yang pertama ialah orang kafir dari satu agama bisa saling mewarisi. Jika mereka satu keyakinan, satu agama, misalnya Yahudi saling mewarisi dengan Yahudi, Nasrani dengan Nasrani dan Majusi mewarisi dengan Majusi. Maka, tidak ada ikhftilaf diantara ulama mengenai perkara ini.
  • Yang kedua ialah non-Muslim yang berbeda agama. Di sini terdapat perbedaan ulama dalam hal pewarisan. Dan sumber ikhtilaf dalam hal ini adalah: Apakah kekafiran itu merupakan satu golongan atau golongan yang berbeda-beda? Terdapat 3 perbedaan pendapat ulama, yaitu:

Pendapat pertama:

Pendapat para ulama mazhab Hanafi, Syafi’ dan Hanbali : orang kafir itu mempunyai keyakinan yang sama. Berdasarkan pendapat ini, orang-orang kafir saling mewarisi, terlepas perbedaan agama mereka. Alasannya karena teks hukum tentang ini bermakna umum. Allah berfirman ;

وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍۚ

Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain.

(Q.S. Al Anfal : 73)

Pendapat kedua:

Pendapat yang kedua ialah orang kafir itu terdiri dari tiga agama. Yahudi, Nasrani dan keyakinan lainnya diangap satu keyakinan. Alasannya karena Yahudi dan Nasrani punya kitab suci, sedangkan agama lain yang tidak punya kitab suci dianggap satu agama.

Jadi, pagan boleh saling mewarisi antara mereka sendiri. Tapi Nasrani hanya mewarisi antara mereka sendiri, dan Yahudi saling mewarisi antara mereka sendiri. Yahudi dan Nasrani juga tidak akan mewarisi dengan kaum berhala, dan juga sebaliknya.

Pendapat ketiga:

Mereka berbeda-beda keyakinan. Dan pemeluk masing-masing keyakinan tidak akan mewarisi dari penganut keyakinan lainnya, sebagaimana sabda Rasulullah:

لا يتوارث أهل الملتين شتى

Orang-orang yang berlainan agama   tidak bisa saling mewarisi.

(HR. Abu Dawud, an Nasai, Ibnu Majah)

Syaikh Shalih al Fauzan berpendapat bahwa pendapat ketiga merupakan pendapat yang rajih, yaitu orang kafir hanya bisa mewarisi diantara diri mereka sendiri dalam agama mereka sendiri. Sehingga Yahudi tidak akan saling mewarisi dengan Nasrani.

Hikmah dari pensyariatan terkait warisan di antara orang kafir ini adalah mempermudah kita saat mereka mendatangi kita, dan mereka meminta kita untuk membagikan warisan mereka, apa yang mesti kita lakukan. Tapi, jika mereka tidak mendatangi kita. Kita tidak perlu menerapkan prinsip ini sama sekali.

III.         Simpulan

Demikian pewarisan terkait dengan perbedaan agama yang terdapat perselisihan di dalamnya. Di antara pendapat-pendapat para ulama;

1. Secara mutlaq tidak adanya saling mewarisi antara muslim dan kafir.

2. Seorang tuan yang muslim dapat mewarisi harta budaknya yang kafir.

3. Seorang kafir dapat mewarisi harta dari kerabat muslimnya jika seorang kafir itu masuk Islam sebelum pembagian harta warisan.

4. Seorang muslim boleh memiliki harta peninggalan seorang kafir, tapi tidak sebaliknya

5. Apabila seseorang ke luar dari Islam, maka harta yang diperoleh pada masa Islamnya dapat diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim.

6. Dan lain sebagainya.

Adapun penulis, condong kepada pendapat Syaikh Shalih al Fauzan, bahwa sama sekali tidak ada pewarisan antara muslim dan kafir –wallaahu a’lam-.

Hendaknya seorang muslim patuh pada syari’at terkait waris. Apabila melanggar ketentuan-ketentuan dan batasan-batasan yang telah Allah buat, maka ancamannya adalah adzab dari Allah subhanahu wata’ala. Wal’iyaadzu billaah.

Wallahu a’lam bish showab.

IV.       Referensi

Al Bassam, A. (2004). Taisirul ‘Allam Syarh Umdatil Ahkam. Mekkah: Maktabah Al Asady.

Al Bukhori, M. (2015). Shohihul Bukhori. Mesir: Daar ‘Alamiyah.

Al Fauzan, S. (2002). Al Mulakhkhosh Al Fiqhy. Riyadh: Dar Al ‘Ashimah.

An Naisabury, M. (2016). Shahih Muslim. Mesir: Dar ‘Alamiyyah.

Anonim. (2002). Aqwalul Fuqaha Fi Warosatil Muslim Minal Kafir. Diambil dari: https://www.google.com/amp/s/www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/20265/. Diakses pada 27 November 2022.

Asy Syaukani, M. (2005). Nailul Author Syarh Muntaqol Akhbar Jilid 3. Mesir: Dar El Hadith.

Hakim, M. S. (2019). Ancaman Bagi Pembagian Waris Yang Menyelisihi Syari;’at. Diambil dari: https://muslim.or.id/46661-ancaman-terhadap-pembagian-waris-yang-menyelisihi-syariat.html. Diakses pada 27 November 2022.

Ibnu Katsir, I. (1998). Tafsir Al-Quran Al-Azhim Jilid 1. Damaskus: Darul Fayha.

Tinggalkan komentar